Kamis, 13 Juni 2019


Mitos Bukit Tengkorak

Alkisah, pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda yang bernama Sugeng Aji Kertaputi, ia tinggal di sebuah desa terpencil yang jauh dari kota. Sugeng terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara, adiknya bernama Zakarya Wicaksana dan anak dari Bapak Anto Saji dan Ibu Sunanti.
Kehidupan keluarga Sugeng sangat sederhana, ia sekarang bersekolah di SMA Swasta dan adiknya sedang duduk di bangku SMP Negeri yang berada dekat dengan tempat kediamannya. Orang tuanya membuka warung sembako untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dijalaninya selama sisa umur hidup di dunia dengan cara memutarkan modalnya. Pak Anto menjual seluruh kebutuhan warga dan harga yang dipatokkan tidaklah jauh berbeda dengan harga yang ada di Kota. Berkat kebaikan hati istrinya banyak warga petani sahang yang berhutang padanya. Sesekali pak Anto menegur istrinya bahkan memarahi istrinya didepan warga agar warga tidak berhutang lagi, hati Sunanti merasa teriris karena di perlakukan begitu oleh suaminya. Namun dengan cara seperti itu tidaklah mempan untuk warga petani sahang.

Sepulangnya sekolah Sugeng dan Zakarya membantu bapak dan ibunya untuk berbelanja kebutuhan warung yang sudah mulai menipis, mereka melakukannya setiap satu kali dalam sebulan mereka ikhlas melakukannya walau jarak tempuhnya lumayan jauh jika di kendarai menggunakan sepeda. Sugeng dan adiknya bersiap-siap menaikkan keranjang ringan yang terbuat dari jejaring, mereka pergi ke kota dengan mengendarai dua sepeda peninggalan almarhum kakek dan neneknya yang setahun yang lalu meninggal dunia, sepeda warisan yang di dapatkan dari almarhum kakek dan neneknya masih sangat kokoh untuk dikendarai dan bisa sampai ke tempat tujuan. Jarak tempuhnya kurang lebih 3 jam untuk sampai ke kota, kebetulan besok hari libur jadi tidak apa kalau bermalam di kota kata Zakarya. Tak lama kemudian merka pun sampai ke kota. Sugeng langsung mengajak adiknya untuk bergegas menyandarkan sepedanya ke tembok dan langsung mengunjungi toko-toko yang biasa mereka tuju, barang yang di beli mereka sangat banyak sampai memenuhi kedua keranjang sepedanya dan biasanya hanya sedikit saja tidak sampai membumbung tinggi dan sangat berat.

Zakarya mengajak kakaknya untuk bermalam di Kota, namun Sugeng menolak ajakan adiknya dengan suara terengah-engah sambil menaikkan barang ke keranjangnya. Awalnya Zakarya merasa kecewa karena ia tidak pernah bermalam di kota. Setelah mendengar penjelasan dari kakaknya Zakarya bisa menerima alasannya dan menjadi lebih semangat lagi.

Mereka meninggalkan kota, setengah perjalanan matahari mulai tenggelam di sebelah barat, jadi mau tidak mau mereka harus membawa semuanya sampai ke rumah untuk menyenangkan hati orang tuanya dan agar para pembeli tidak kecewa karena barang yang akan di belinya tersedia di dalam warung. Sekayuh demi kayuh mereka jalani dengan laju agar cepat sampai ke rumahnya dan datang tidak terlalu malam. Di perjalanan rantai sepeda Zakarya putus dan putusan rantainya tidak jauh dari mereka berhenti. Zakarya menitipkan barang dan sepedanya kepada kakaknya dan ia mencoba menyusuri setapak demi setapak secara perlahan agar tak terlewatkan matanya untuk melihat ke bawah di balik dedaunan yang menutupi jalan kecil itu.
Mata zakarya masih awas untuk melihat disekitarnya, dibantu dengan sinar purnama. Sambil Zakarya mencari potongan rantai sepeda miliknya. Sugeng melihat pancaran sinar kilat yang menuju ke sebuah bukit, ia mengabaikannya dan tidak menceritakan hal itu kepada adiknya.Tak lama Zakarya langsung menemukan potongan rantai sepedanya dan langsung bergegas untuk mendatangi kakaknya di tempat.

Sugeng mencari sebuah potongan kayu keras yang berukuran lengannya dan mencari reranting kecil untuk menyatukan rantai sepeda milik adiknya.  Kayu dan ranting sudah ditemukan olehnya, ia langsung memperbaiki rantai sepeda dan mereka langsung meninggalkan tempat tersebut.Setelah beberapa jam kemudian, sampailah di depan rumah dan orang tuanya masih tertidur pulas. Sugeng dan Zakarya menurunkan barang muatannya dengan pelan agar orang tuanya tidak terbangun, dan tak sengaja adiknya menjatuhkan barang yang ada di dalam keranjangnya, orang tuanya terkejut dan langsung pergi keluar untuk melihat dan mendatangi sumber suara dan ternyata didepan rumahnya ada anaknya yang sedang membongkar muatan yang mereka beli dari kota dan mereka pun membantu anaknya agar cepat selesai dan langsung bisa beristirahat.

Sesekali anak-anak dari bapak Anto Saji dan ibu sunanti ini menggantikan perannya untuk menjaga warung miliknya seharian secara bergantian dan membiarkan orang tuanya beristirahat. Karena tidaklah mudah dan sangat menguras tenaga diusia mereka yang sudah melewati setengah abad dan akhir-akhir ini orang tunya sakit-sakitan. Sugeng merasa iba dengan kesehatan orang tuanya yang sudah tua namun masih saja bekerja tanpa lelah demi menyekolahkan anaknya dan memenuhi kebutuhan keluarganya.

Hari demi hari berlalu begitu saja dan akhirnya setelah Sugeng Aji Kertaputi lulus sekolah dan dimalam harinya ia bermimpi bertemu dengan gadis berparas cantik jelita yang bertubuh putih dan menggunakan gaun bertutul yang turun ke arah sungai tersela. Di dalam mimpinya ia mendatangi gadis tersebut dan mereka bertemu dan saling tatap sehingga saling jatuh hati satu sama lainnya. Mereka menjalin kasih dan merencanakan pernikahan di dasar daratan yang dekat dengan tepian sungai tersela. Mereka pun menikah tanpa adanya wali satu sama lain, Sugeng menikahi gadis yang menggunakan gaun bertutul karena cintanya yang tulus namun ia sedih karena tidak di hadiri oleh kedua keluarga mereka. Gadis berparas cantik jelita yang bernama Putri Hanima. Sugeng tak pernah menanyakan asal usul dari gadis yang ia nikahi namun ia merasa penasaran dengan tingkah laku istrinya yang akhir-akhir ini sering menuju ke arah bukit yang berada di seberang sungai tersela. Tanpa Sugeng menanyakan langsung kepada istrinya, Putri Hanima pun langsung menceritakan asal usul kehidupannya dan dari mana ia berasal. Sugeng terkejut setelah mendengarkan cerita dari isterinya. Berkat kecintaannya kepada sang istri iamemutuskan untuk tinggal di bukit bersama istrinya.
                                                    
Alasan isterinya sering  pergi ke bukit karena keluarganya dahulu tinggal di bukit Mahakala. Ayahnya di percayai warga sebagai ahli pengobatan dengan membacakan doa-doa kepada warga yang ingin disembuhkan dari penyakitnya dan jika keluarganya meninggalkan bukit tersebut banyak warga disekitarnya yang merasa kecewa karena tidak ada lagi orang yang bisa diandalkan untuk membantu menyembuhkan penyakit warga di sekitar. Di saat pernikahan Putri Hanima bukannya keluarganya tidak ingin menghadiri pernikahan putrinya namun di saat perjalanan menuju kepernikahan putrinya di malam hari karena kemalaman di perjalan adik dari Putri Hanima menyebutkan hal-hal yang tidak boleh di katakan pada saat ingin keluar dari bukit mahakala, adiknya bukannya tidak mengetahui hal itu namun ia sengaja mempermainkan kata-kata itu dan begitulah terus menerus perkataan yang di keluarkan dari mulut adiknya Putri Hanima.

Angin berhembus kencang dan membuat pepohonan bernari-nari para ilalang yang bergoyang dari arah barat dan terdengar suara ganas dan ternyata yang keluar dari ilalang adalah seekor Harimau yang ganas yang mengincar nyawa ayahnya selama ini. Lantas Ayah Putri Hanima mencoba melindungi keluarganya dari serangan harimau tetapi tetap saja tak bisa tertandingi dan akhirnya sekeluarga meninggal di bukit Mahakala tanpa diketahui warga disekitar dan warga pun satu persatu meninggal dunia karena tidak ada yang bisa mengobati penyakitnya. Merasa hati bimbang dan rindu kepada sang ayah dan keluarga di bukit Mahakala, Putri mendatangi keluarganya sendiri tanpa meminta suaminya untuk menemaninya dan sesampainya Putri Hanima di Bukit Mahakala terungkaplah bahwa tiada satu pun keluarganya yang tersisa dan banyak warganya yang sudah menjadi tengkorak.

Hati Putri Hanima merasa teriris dan pilu sebab tiada satu pun keluarganya yang tersisa dan warga yang sudah menjadi tengkorak bersama keluarganya. Putri Hanima dimimpi oleh Ayahnya dan bukannya ayah tidak ingin datang kepernikahan namun di perjalanan kami diserang oleh seekor macan yang sakit hati kepada adikmu karena oleh perkataan yang keluar dari mulut adikmu dan akhirnya kami semua mati. Pesan ayah kepada mu dan keturunan mu kelak hati-hati di setiap ujaran yang keluar dari mulut dan dilihat lagi situasi dan suasana di sekitar. Karena gara-gara mulut nyawa melayang. Oleh sebab itu nama bukit Mahakala berubah menjadi bukit tengkorak karena banyak warga yang mati di sana tanpa diketahui oleh banyak orang.

Sugeng pun terbangun dari mimpinya dan memutuskan untuk mengajak keluarganya untuk pergi merantau mengubah nasib ke seberang sungai tersela yaitu di kampung Mahakala. Jarak rumah menuju sungai tersela dua hari satu malam, mau tidak mau Sugeng dan keluarganya beristirahat ditempat persinggahan samping  jalan untuk merehatkan tubuhnya sejenak di kursi yang terbuat dari bambu yang sudah agak reot, sampai mentari terbit dari arah timur. Di gubuk tua tersebut tidak ada penghuninya namun ada hawa kehidupan di dalam rumah gubuk tua itu.

Mentari pun terbit dari arah timur Sugeng dan keluarga segera melanjutkan perjalanannya sebelum itu terpintas pikiran di benaknya ia memikirkan sesuatu untuk meminta bantuan kepada adik dan orang tuanya untuk melepakan bambu-bambu yang masih berbentuk menjadi kursi dan akhirnya dilepaskannya sehingga kursi tersebut menjadi berlepasan dan mereka berbodong-bondong memikul bambu-bambu yang ia lepaskan dari bentuk kursi. Tidak lama kemudian Sugeng dan keluarganya sampai di tepi Sungai tersela, menarik nafas dan menghembuskan nafas sejenak Sugeng langsung merakit kendaraannya yang ia gunakan untuk menyeberangi sungai sampai ke kampung Mahakala. Dibawah Sungai Tersela terdapat bebatuan dan airnya kadang surut dan kadang pasang dan tak tau kapan waktunya, seolah-olah sungai Tersela ada penunggunya.

Sugeng dan keluarga mencoba menyebrangi sungai dengan menaiki kendaraan apung yang dibuatnya dari beberapa bambu yang diikat secara berjajaran. Sugeng baru saja mengijakkan kaki kanannya lalu seketika ada seorang laki-laki separuh baya yang menegurnya untuk tidak menaiki kendaraannya untuk menyebrangi sungai tersela. Sugeng tidak menghiraukan Laki-laki separuh baya tersebut dan akhirnya Sugeng menaiki kendaraannya di saat sungai tersela itu pasang, ia pikir dengan demikian ia akan cepat sampai ke seberang sana yaitu di kampung Mahalaka. Air sungai tersela sangat deras sekali dan tiba-tiba kendaraannya terbalik. Sugeng dan keluarganya tenggelam dan hanyut di dekat bukit Mahakala di kampung Mahakala. Jarak bukit dan kampung Mahakala tidak begutu jauh dan ia teringat oleh mimpinya bahwa ia pernah menikahi seorang gadis cantik jelita yang bernama Putri Hanima. Tergerak hati untuk mengajak keluarganya untuk tinggal di atas bukit mahakala.

Tidak lama kemudian meraka pun sampai di bukit Mahakala dan mereka membuat pondok sambil menghidupkan api kecil untuk menghindari dari binatang buas untuk persiapan di malam harinya dan menaburi garam di sekitar pondok yang hampir jadi. Seusainya pondok mereka jadi Zakarya mengeluarkan dan menyusuni sembako yang masih ada di dalam tas mereka yang basah dan yang tadinya terikat kuat dari badan mereka masing-masing pada saat hanyut tadi. Tak lama kemudian ada warga yang berkunjung ke bukit Mahakala untuk mengunjungi keluarganya yang sudah puluhan tahun tidak bertemu, warga tersebut berbondong-bondong menaki bukit dan merehatkan tubuhnya sejenak sambil menghilangkan dahaga di warung Sugeng dan keluarga sambil bercerita dengan warga dan tak panjang lebar, warga pun melanjutkan perjalanannya yang kurang lebih 15 menit untuk sampai ke tempat keluarganya.

Akhirnya mereka sampai ketempat tujuan dan dilihatnya hanyanyalah tengkorak-tengkorak yang bergelempangan di tanah. Kemudian warga tersebut syok dan kembali ke pondok tadi yang mereka singgahi dan menceritakan peristiwa tersebut lalu kemudian Sugeng mendatangi tempat tersebut dan menceritakan mimpinya dan mimpinya itu sama persis dengan apa yang ia lihat sekarang ini namun ia tak pernah melihat dan dimimpi oleh Putri Hanima yang dulunya sering hadir di bunga tidurnya dan warga percaya dengan cerita Sugeng lalu kemudian warga tersebut tinggalah di bukit Mahakala di kampung Mahakala dan yang sekarang diubah menjadi bukit tengkorak dan setiap orang yang tinggal dan ingin berkunjung ke bukit ini harus menjaga ujarnya dan sekarang di bukit tengkorak ini di buatkanlah sebuah kelenteng karena banyak penduduk kampung Mahakala yang menganut kepercayaan tradisional Tionghoa.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar