Mitos
Bukit Tengkorak
Alkisah,
pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda yang bernama Sugeng Aji Kertaputi, ia
tinggal di sebuah desa terpencil yang jauh dari kota. Sugeng terlahir sebagai
anak pertama dari dua bersaudara, adiknya bernama Zakarya Wicaksana dan anak
dari Bapak Anto Saji dan Ibu Sunanti.
Kehidupan keluarga Sugeng sangat sederhana, ia
sekarang bersekolah di SMA Swasta dan adiknya sedang duduk di bangku SMP Negeri
yang berada dekat dengan tempat kediamannya. Orang tuanya membuka warung sembako untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dijalaninya
selama sisa umur hidup di dunia dengan cara memutarkan modalnya. Pak Anto menjual
seluruh kebutuhan warga dan harga yang dipatokkan tidaklah jauh berbeda dengan
harga yang ada di Kota. Berkat kebaikan hati istrinya banyak warga petani
sahang yang berhutang padanya. Sesekali pak Anto menegur istrinya bahkan
memarahi istrinya didepan warga agar warga tidak berhutang lagi, hati Sunanti
merasa teriris karena di perlakukan begitu oleh suaminya. Namun dengan cara
seperti itu tidaklah mempan untuk warga petani sahang.
Sepulangnya
sekolah Sugeng dan Zakarya membantu bapak dan ibunya untuk berbelanja kebutuhan
warung yang sudah mulai menipis, mereka melakukannya setiap satu kali dalam
sebulan mereka ikhlas melakukannya walau jarak tempuhnya lumayan jauh jika di
kendarai menggunakan sepeda. Sugeng dan adiknya bersiap-siap menaikkan
keranjang ringan yang terbuat dari jejaring, mereka pergi ke kota dengan
mengendarai dua sepeda peninggalan almarhum kakek dan neneknya yang setahun
yang lalu meninggal dunia, sepeda warisan yang di dapatkan dari almarhum kakek
dan neneknya masih sangat kokoh untuk dikendarai dan bisa sampai ke tempat
tujuan. Jarak tempuhnya kurang lebih 3 jam untuk sampai ke kota, kebetulan
besok hari libur jadi tidak apa kalau bermalam di kota kata Zakarya. Tak lama
kemudian merka pun sampai ke kota. Sugeng langsung mengajak adiknya untuk
bergegas menyandarkan sepedanya ke tembok dan langsung mengunjungi toko-toko
yang biasa mereka tuju, barang yang di beli mereka sangat banyak sampai
memenuhi kedua keranjang sepedanya dan biasanya hanya sedikit saja tidak sampai
membumbung tinggi dan sangat berat.
Zakarya mengajak
kakaknya untuk bermalam di Kota, namun Sugeng menolak ajakan adiknya dengan
suara terengah-engah sambil menaikkan barang ke keranjangnya. Awalnya Zakarya
merasa kecewa karena ia tidak pernah bermalam di kota. Setelah mendengar
penjelasan dari kakaknya Zakarya bisa menerima alasannya dan menjadi lebih
semangat lagi.
Mereka
meninggalkan kota, setengah perjalanan matahari mulai tenggelam di sebelah
barat, jadi mau tidak mau mereka harus membawa semuanya sampai ke rumah untuk
menyenangkan hati orang tuanya dan agar para pembeli tidak kecewa karena barang
yang akan di belinya tersedia di dalam warung. Sekayuh demi kayuh mereka jalani
dengan laju agar cepat sampai ke rumahnya dan datang tidak terlalu malam. Di
perjalanan rantai sepeda Zakarya putus dan putusan rantainya tidak jauh dari
mereka berhenti. Zakarya menitipkan barang dan sepedanya kepada kakaknya dan ia
mencoba menyusuri setapak demi setapak secara perlahan agar tak terlewatkan
matanya untuk melihat ke bawah di balik dedaunan yang menutupi jalan kecil itu.
Mata zakarya
masih awas untuk melihat disekitarnya, dibantu dengan sinar purnama. Sambil
Zakarya mencari potongan rantai sepeda miliknya. Sugeng melihat pancaran sinar
kilat yang menuju ke sebuah bukit, ia mengabaikannya dan tidak menceritakan hal
itu kepada adiknya.Tak lama Zakarya langsung menemukan potongan rantai
sepedanya dan langsung bergegas untuk mendatangi kakaknya di tempat.
Sugeng mencari
sebuah potongan kayu keras yang berukuran lengannya dan mencari reranting kecil
untuk menyatukan rantai sepeda milik adiknya.
Kayu dan ranting sudah ditemukan olehnya, ia langsung memperbaiki rantai
sepeda dan mereka langsung meninggalkan tempat tersebut.Setelah beberapa jam
kemudian, sampailah di depan rumah dan orang tuanya masih tertidur pulas.
Sugeng dan Zakarya menurunkan barang muatannya dengan pelan agar orang tuanya
tidak terbangun, dan tak sengaja adiknya menjatuhkan barang yang ada di dalam
keranjangnya, orang tuanya terkejut dan langsung pergi keluar untuk melihat dan
mendatangi sumber suara dan ternyata didepan rumahnya ada anaknya yang sedang
membongkar muatan yang mereka beli dari kota dan mereka pun membantu anaknya
agar cepat selesai dan langsung bisa beristirahat.
Sesekali
anak-anak dari bapak Anto Saji dan ibu sunanti ini menggantikan perannya untuk
menjaga warung miliknya seharian secara bergantian dan membiarkan orang tuanya
beristirahat. Karena tidaklah mudah dan sangat menguras tenaga diusia mereka yang
sudah melewati setengah abad dan akhir-akhir ini orang tunya sakit-sakitan.
Sugeng merasa iba dengan kesehatan orang tuanya yang sudah tua namun masih saja
bekerja tanpa lelah demi menyekolahkan anaknya dan memenuhi kebutuhan
keluarganya.
Hari demi hari
berlalu begitu saja dan akhirnya setelah Sugeng Aji Kertaputi lulus sekolah dan
dimalam harinya ia bermimpi bertemu dengan gadis berparas cantik jelita yang
bertubuh putih dan menggunakan gaun bertutul yang turun ke arah sungai tersela.
Di dalam mimpinya ia mendatangi gadis tersebut dan mereka bertemu dan saling
tatap sehingga saling jatuh hati satu sama lainnya. Mereka menjalin kasih dan
merencanakan pernikahan di dasar daratan yang dekat dengan tepian sungai
tersela. Mereka pun menikah tanpa adanya wali satu sama lain, Sugeng menikahi
gadis yang menggunakan gaun bertutul karena cintanya yang tulus namun ia sedih
karena tidak di hadiri oleh kedua keluarga mereka. Gadis berparas cantik jelita
yang bernama Putri Hanima. Sugeng tak pernah menanyakan asal usul dari gadis
yang ia nikahi namun ia merasa penasaran dengan tingkah laku istrinya yang
akhir-akhir ini sering menuju ke arah bukit yang berada di seberang sungai
tersela. Tanpa Sugeng menanyakan langsung kepada istrinya, Putri Hanima pun
langsung menceritakan asal usul kehidupannya dan dari mana ia berasal. Sugeng
terkejut setelah mendengarkan cerita dari isterinya. Berkat kecintaannya kepada
sang istri iamemutuskan untuk tinggal di bukit bersama istrinya.
Alasan isterinya
sering pergi ke bukit karena keluarganya
dahulu tinggal di bukit Mahakala. Ayahnya di percayai warga sebagai ahli
pengobatan dengan membacakan doa-doa kepada warga yang ingin disembuhkan dari
penyakitnya dan jika keluarganya meninggalkan bukit tersebut banyak warga
disekitarnya yang merasa kecewa karena tidak ada lagi orang yang bisa
diandalkan untuk membantu menyembuhkan penyakit warga di sekitar. Di saat
pernikahan Putri Hanima bukannya keluarganya tidak ingin menghadiri pernikahan
putrinya namun di saat perjalanan menuju kepernikahan putrinya di malam hari
karena kemalaman di perjalan adik dari Putri Hanima menyebutkan hal-hal yang
tidak boleh di katakan pada saat ingin keluar dari bukit mahakala, adiknya
bukannya tidak mengetahui hal itu namun ia sengaja mempermainkan kata-kata itu
dan begitulah terus menerus perkataan yang di keluarkan dari mulut adiknya
Putri Hanima.
Angin berhembus
kencang dan membuat pepohonan bernari-nari para ilalang yang bergoyang dari
arah barat dan terdengar suara ganas dan ternyata yang keluar dari ilalang
adalah seekor Harimau yang ganas yang mengincar nyawa ayahnya selama ini.
Lantas Ayah Putri Hanima mencoba melindungi keluarganya dari serangan harimau
tetapi tetap saja tak bisa tertandingi dan akhirnya sekeluarga meninggal di
bukit Mahakala tanpa diketahui warga disekitar dan warga pun satu persatu
meninggal dunia karena tidak ada yang bisa mengobati penyakitnya. Merasa hati
bimbang dan rindu kepada sang ayah dan keluarga di bukit Mahakala, Putri
mendatangi keluarganya sendiri tanpa meminta suaminya untuk menemaninya dan
sesampainya Putri Hanima di Bukit Mahakala terungkaplah bahwa tiada satu pun
keluarganya yang tersisa dan banyak warganya yang sudah menjadi tengkorak.
Hati Putri
Hanima merasa teriris dan pilu sebab tiada satu pun keluarganya yang tersisa
dan warga yang sudah menjadi tengkorak bersama keluarganya. Putri Hanima dimimpi
oleh Ayahnya dan bukannya ayah tidak ingin datang kepernikahan namun di
perjalanan kami diserang oleh seekor macan yang sakit hati kepada adikmu karena
oleh perkataan yang keluar dari mulut adikmu dan akhirnya kami semua mati.
Pesan ayah kepada mu dan keturunan mu kelak hati-hati di setiap ujaran yang
keluar dari mulut dan dilihat lagi situasi dan suasana di sekitar. Karena
gara-gara mulut nyawa melayang. Oleh sebab itu nama bukit Mahakala berubah
menjadi bukit tengkorak karena banyak warga yang mati di sana tanpa diketahui
oleh banyak orang.
Sugeng pun
terbangun dari mimpinya dan memutuskan untuk mengajak keluarganya untuk pergi merantau
mengubah nasib ke seberang sungai tersela yaitu di kampung Mahakala. Jarak rumah
menuju sungai tersela dua hari satu malam, mau tidak mau Sugeng dan keluarganya
beristirahat ditempat persinggahan samping
jalan untuk merehatkan tubuhnya sejenak di kursi yang terbuat dari bambu
yang sudah agak reot, sampai mentari terbit dari arah timur. Di gubuk tua
tersebut tidak ada penghuninya namun ada hawa kehidupan di dalam rumah gubuk
tua itu.
Mentari pun
terbit dari arah timur Sugeng dan keluarga segera melanjutkan perjalanannya
sebelum itu terpintas pikiran di benaknya ia memikirkan sesuatu untuk meminta
bantuan kepada adik dan orang tuanya untuk melepakan bambu-bambu yang masih
berbentuk menjadi kursi dan akhirnya dilepaskannya sehingga kursi tersebut
menjadi berlepasan dan mereka berbodong-bondong memikul bambu-bambu yang ia lepaskan
dari bentuk kursi. Tidak lama kemudian Sugeng dan keluarganya sampai di tepi
Sungai tersela, menarik nafas dan menghembuskan nafas sejenak Sugeng langsung
merakit kendaraannya yang ia gunakan untuk menyeberangi sungai sampai ke
kampung Mahakala. Dibawah Sungai Tersela terdapat bebatuan dan airnya kadang
surut dan kadang pasang dan tak tau kapan waktunya, seolah-olah sungai Tersela
ada penunggunya.
Sugeng dan
keluarga mencoba menyebrangi sungai dengan menaiki kendaraan apung yang
dibuatnya dari beberapa bambu yang diikat secara berjajaran. Sugeng baru saja
mengijakkan kaki kanannya lalu seketika ada seorang laki-laki separuh baya yang
menegurnya untuk tidak menaiki kendaraannya untuk menyebrangi sungai tersela.
Sugeng tidak menghiraukan Laki-laki separuh baya tersebut dan akhirnya Sugeng
menaiki kendaraannya di saat sungai tersela itu pasang, ia pikir dengan
demikian ia akan cepat sampai ke seberang sana yaitu di kampung Mahalaka. Air
sungai tersela sangat deras sekali dan tiba-tiba kendaraannya terbalik. Sugeng
dan keluarganya tenggelam dan hanyut di dekat bukit Mahakala di kampung
Mahakala. Jarak bukit dan kampung Mahakala tidak begutu jauh dan ia teringat
oleh mimpinya bahwa ia pernah menikahi seorang gadis cantik jelita yang bernama
Putri Hanima. Tergerak hati untuk mengajak keluarganya untuk tinggal di atas
bukit mahakala.
Tidak lama
kemudian meraka pun sampai di bukit Mahakala dan mereka membuat pondok sambil
menghidupkan api kecil untuk menghindari dari binatang buas untuk persiapan di
malam harinya dan menaburi garam di sekitar pondok yang hampir jadi. Seusainya
pondok mereka jadi Zakarya mengeluarkan dan menyusuni sembako yang masih ada di
dalam tas mereka yang basah dan yang tadinya terikat kuat dari badan mereka
masing-masing pada saat hanyut tadi. Tak lama kemudian ada warga yang
berkunjung ke bukit Mahakala untuk mengunjungi keluarganya yang sudah puluhan
tahun tidak bertemu, warga tersebut berbondong-bondong menaki bukit dan
merehatkan tubuhnya sejenak sambil menghilangkan dahaga di warung Sugeng dan
keluarga sambil bercerita dengan warga dan tak panjang lebar, warga pun
melanjutkan perjalanannya yang kurang lebih 15 menit untuk sampai ke tempat
keluarganya.
Akhirnya mereka
sampai ketempat tujuan dan dilihatnya hanyanyalah tengkorak-tengkorak yang
bergelempangan di tanah. Kemudian warga tersebut syok dan kembali ke pondok
tadi yang mereka singgahi dan menceritakan peristiwa tersebut lalu kemudian
Sugeng mendatangi tempat tersebut dan menceritakan mimpinya dan mimpinya itu
sama persis dengan apa yang ia lihat sekarang ini namun ia tak pernah melihat
dan dimimpi oleh Putri Hanima yang dulunya sering hadir di bunga tidurnya dan
warga percaya dengan cerita Sugeng lalu kemudian warga tersebut tinggalah di
bukit Mahakala di kampung Mahakala dan yang sekarang diubah menjadi bukit
tengkorak dan setiap orang yang tinggal dan ingin berkunjung ke bukit ini harus
menjaga ujarnya dan sekarang di bukit tengkorak ini di buatkanlah sebuah
kelenteng karena banyak penduduk kampung Mahakala yang menganut kepercayaan
tradisional Tionghoa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar