DONGENG
HUTAN FONETIS
Dahulu
kala hiduplah sepasang suami istri yang bernama Subarjo dan Sunanti. Mereka tinggal
di tengah-tengah hutan yang jaraknya antara rumahnya dan rumah warga masih
berjarak antara satu dengan yang lainnya karena masih banyak pepohonan bambu
dan yang masih menjadi hutan. Sehingga sulit bagi para warga untuk mendekati
kediaman mereka. Mereka menikah sudah tiga puluh tahun lamanya namun tidak satu
pun di karunia seorang anak, mungkin belum rezekinya.
Kedua suami istri bekerja sebagai
pengusaha kerajinan yang terbuat dari bambu. Semua kebutuhan sehari-hari
tercukupi karena mereka hanya tinggal bertiga yang ditemani oleh ibu dari Sunanti
yang bernama ibu Nyi Sunantiana yang berumur 78 tahun namun tetap masih
terlihat kuat dan bugar dan seekor kucing lusuh yang di temukannya di tepi
jalan dekat dengan pohon bambu. Subarjo dan Sunanti sangat menyayangi kucing
yang ditemukannya. Sunanti memandikan dan merawat kucing yang di temukannya
dalam lima tahun terakhir dan dari setengah tahun seusainya melaksanakan
pernikahan.
Mereka
pergi ketempat orang pintar untuk menanyakan mengapa kedua sepasang suami istri
tersebut sampai sekarang tidak juga di karuniai seorang anak.Ternyata penyebab
mereka tidak di karunia anak terungkap setelah mereka pergi ketempat orang
pintar. Selain atas izin sang maha pencipta ada faktor lain yaitu faktor virus
yang terjangkit dari kucing lusuh yang mereka temukan beberapa tahun yang lalu.
Mereka tak menyalahkan kucing tersebut dan mereka percaya bahwa dibalik
kehendak sang maha pencipta pasti ada kejutan yang tak terduaga. Bukannya
mereka makin jijik dengan kucing lusuhnya walau pun sudah sering di bersihkan namun
ada terdapat virus yang membahayakan sehingga mereka sulit untuk mendapatkan
anak. Namun mereka semakin menyanyanginya dua kali lipat dari sebelumnya dan di
sayanginya seperti anaknya sendiri walau pun mereka belum pernah di karunia
seorang anak.
Malam
hari pun telah tiba, rembulan memancarkan cahayanya dan ribuan bintang
berkelip-kelip nampak tersipu malu kepada dunia. Melihat bulan dan bintang di
halaman teras rumahnya dan di temani seekor kucing miliknya, sepasang suami
istri selalu berdoa di setiap solatnya dan dimana pun mereka berada. Mereka
selalu memanjatkan doa dan dengan rintihan dengan memohon kepada sang pencipta
agar di karuniai seorang anak. Ibu Nyi Sunantiana meneteskan air mata saat
mendengarkan doa dan perbincangan mereka dari jauh.
Keesokan harinya mentari mulai terbit dari sebelah
timur dan panasnya memancar sampai ke ubun-ubun. Ibunya berpamitan kepada anak
dan menantunya untuk mengantarkan hasil kerajinan rajutan dari tangannya. Ibu Nyi
Sunantiana melewati hutan bambu yang seram jika dilewati sendirian dan tak lama
kemudian ibu Nyi Sunantiana sampai kerumah warga yang ingin membeli pesanannya,
harga sebuah kerajinannya di bandrol dengan harga yang cukup mahal. Tak sengaja
ia melihat ada salah satu warga perempuan yang sedang hamil besar yang bernama
Intanayu dan mau melahirkan. sebelum ia mendekati Intanayu itu rombongan
anaknya yang berjumlah lima orang dan masih kecil-kecil, anak Intanayu hamil
itu sesungguhnya tak memnginginkan ibunya melahirkan lagi karena kasihan
melihat ibunya yang menderita karena kesulitan dalam proses melahirkan dan
bisa-bisa nyawanya melayang karena perlu penanganan khusus untuk anaknya yang
ke enam ini. Biaya yang tidak memadai, di usia kehamilannya menuju kesembilan
bulan. Suaminya yang bernama kentana meminta bantuan kepada ibunya mengambil bambu
milik keluarga Subarjo yang berada dekat dengan rumah keluarga Subarjo karena
kekurangan biaya untuk melakukan persalinan melahirkan, hari mulai sore dan
mentari mulai terbenam, suami dan ibunya tak kunjung pulang bahkan sampai saat
ini.
Mendengar
berita tersebut ibu Nyi Sunantiana tidak berpikir panjang lebar mengenai cerita
masalalu mengenai hutan pohon bambu dan sumpahnya barang siapa yang mencoba
mengambil milik hak orang lain tanpa seizin tuannya maka akan di sembunyikan
oleh penunggunya yang berada di tengah hutan yang selalu bergoyang-goyang,
kesana-kemari. Sehingga menghasilkan sebuah bunyi yang membuat orang tertarik
dan ingin menebangi pohon bambu dan mencari sumber suara bambu jika terdengar
bunyinya yang sangat merdu maka kualitas bambu tersebut akan semakin bagus, ia
langsung mendatangi perempuan yang tak lama lagi akan segera melahirkan dan
akan membantu proses kelahiran anaknya namun dengan catatan anaknya menjadi
miliknya dan tinggal bersama ibu Nyi Sunantiana, tak mampu menahan kesakitan
yang amat terasa perempuan yang beranakkan lima dan mempunyai calon anak yang
masih di dalam kandungannya merintih kesakitan. Ibu Nyi Sunantiana segera
mencari orang pintar untuk menyelamatkan perempuan dan calon cucuknya.
Satu
jam kemudian proses persalinan berlangsung dan anak dari perempuan tersebut
sudah lahir, rambut cucu ibu Nyi Sunantiana sangat lebat dan hidungnya mancung,
berkulit putih, bibir yang tipis dan mata yang mengecil karena lipatan pada
kelopak matanya. Setelah Ibu Nyi Sunantiana mengantarkan Intanayu ke rumahnya,
Ibu Sunantiana mengasihkan sedikit uang kepada Intanayu itu setidaknya bisa
membantu meringankan kebutuhan sehari-hari.
Ibu
Nyi Sunantiana pulang menuju rumahnya dan mengetok-ngetok pintu rumahnya sambil
tersenyum bahagia dan yang membukakan pintunya yaitu anak dari ibu Nyi
Sunantiana yaitu Sunanti. Ibu Nyi Sunantiana menceritakan semuanya dan Sunanti
memanggil suaminya untuk melihat dan mendengarkan berita bahagia ini. Keluarga
Subarjo sangat bahagia karena kehadiran puteri yang terlahir kedunia ini
untuknya dan begitu besar maha kuasa yang di berikan sang maha pencipta kepada
kami.
Malam
hari pun tiba dan burung gagak berterbangan dan sekali berbunyi sangat jelas
ditelinga membuat suasana Bahagia menjadi ketakutan karena ada dua korban yang
belum di temukan di hutan bambu dekat dengan rumahnya. Malam demi malam berlalu
begitu saja, Subarjo dan keluarganya merasa tidak tenang dengan bunyi-bunyi
yang setiap malamnya selalu hadir di saat mula terpejamnya mata dan merehatkan
sejenak raga yang seharian membanting tulang demi keluarga dan puteri barunya.
Kokokan
ayam mulai terdengar dan tidak lupa keluarganya Subarjo melaksanakan
kewajibannya dua rakaat. Di pagi yang sedikit mendung namun tak ingin turunnya
hujan dan membasahi hutan bambu fonetisnya. Akhirnya Subarjo mencoba mencari
sebab mengapa ada burung gagak malam tadi berbunyi di hutan bambu miliknya.
Usut punya usut Subarjo menemukan seorang ibu tua dan anaknya yang usianya
sudah berkeluarga meminta tolong kepada Subarjo.
Dengan
kaki yang berjengkot-jengkot di rangkul oleh Subarjo untuk menuju ke rumah
Subarjo sambil mengobati luka dan membuangi belatung yang berdiam di kakinya
dan sambil melangkah secara
terlompat-lompat karena kakinya yang sebelah kananya sudah mulai berbelatung
karena sudah hampir satu minggu belatung yang menempel di kakinya akibat
tertimpa pohon bambu milik Subarjo. Ibu dari Kentana tidak bisa menolongnya
karena untuk merangkul anaknya memerlukan tenaga ekstra untuk keluar dari hutan
tersebut tidaklah mudah lagi usianya yang sudah lewat dari setengah baya.
Sampailah
di rumah Subarjo dan istrinya mengenali ibu tua dan pria yang di rangkul oleh
suaminya karena sudah mendengar cerita dari ibunya bercerita tempo kemarin.
Istri Subarjo mengambilkan air dan obat-obat luar untuk mengobatinya setelah
selesai dibuangi belatungnya segera Subarjo mengajak mereka untuk kedapur dan
menyantap hidangan yang sudah di sediakan oleh istri Subarjo, subarjo dan
istrinya menemani mereka menghabiskan hidangannya dan ibu Nyi Sunantiana sedang
berada di dalam kamar dengan puterinya untuk menidurkannya. Ibu Nyi Sunantianan
sudah mengetahuinya dan setelah mereka selesai makan dan pindah duduk keruang
tengah. Ibu Nyi Sunanti pun datang sambil membawa cucunya yang baru saja
tertidur.
Kentana
dan ibunya yang berusia lebih dari setengah baya terheran-heran melihat anak
yang di gendong okeh Ibu Nyi Sunantiana. Mengapa kalian heran ungkap Ibu Nyi
Sunantiana?, apakah wajahnya ada kemiripan dengan kalian?. Iya bu Nyi
Sunantiana saya merasa kami ada kemiripan dan batin kami merasa menyatu
dengannya. Ini adalah anak mu, isteri mu melahirkannya dalam keadaan kesusahan
jadi aku menolongnya namun dengan satu syarat yaitu anakmu menjadi milikku,
bolehkah aku menggendong anakku sekali saja ungkap Kentana dan permintaan dari
sang neneknya yaitu untuk mencium kening cucuknya yang tak sempat ia lihat
secara langsung setelah Intanayu melahirkannya untuk melihat duania.
Nasi
sudah menjadi bubur apalah boleh buat lagi. Padahal anak ke enamnya ini adalah
anak satu-satunya puteri dari buah cinta mereka. kelima anak sebelumnya adalah laki-laki semua dan nakal-nakal dan susah
untuk didik karena keegoannya tidak sempat mendidiknya karena ambisius kami
yang merajalela. Sungguh kami menyesal melakukan semua ini dan kami meminta
maaf atas perlakuan kami selama ini yang sering mengambil pohon bambu milik
kalian.
Intanayu
istri dari Kentana datang bersama kelima anak-anakanya setelah di beritahu oleh
warga. Mendengar ceritanya keluarga Subarjo memaafkan perbuatannya tapi jangan
menggambil hak milik orang lain tanpa seizinnya. Keluarga Subarjo memberikan
permintaan sekali lagi kepada pria tersebut dan Subarjo mengatakan apakah boleh
kelima anak laki-lakimu dan anak perempuan mu kita didik secara bersama? Ya,
aku sangat setuju ungkap Kentana dan kedua keluarga tersenyum bahagia.
Sekian
tahun kemudian anak-anak yang mereka didik bersama tanpa kekurangan kasih
sayang dan materi dari kedua keluarganya. Kini mereka sudah tumbuh besar dan
menjadi orang-orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Sungguh indah skenario
sang Pencipta tiada lelahnya aku mengucapkan puji dan syukur sepanjang hari,
siang dan malamku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar