Kamis, 13 Juni 2019


DONGENG HUTAN FONETIS

            Dahulu kala hiduplah sepasang suami istri yang bernama Subarjo dan Sunanti. Mereka tinggal di tengah-tengah hutan yang jaraknya antara rumahnya dan rumah warga masih berjarak antara satu dengan yang lainnya karena masih banyak pepohonan bambu dan yang masih menjadi hutan. Sehingga sulit bagi para warga untuk mendekati kediaman mereka. Mereka menikah sudah tiga puluh tahun lamanya namun tidak satu pun di karunia seorang anak, mungkin belum rezekinya.
            Kedua suami istri bekerja sebagai pengusaha kerajinan yang terbuat dari bambu. Semua kebutuhan sehari-hari tercukupi karena mereka hanya tinggal bertiga yang ditemani oleh ibu dari Sunanti yang bernama ibu Nyi Sunantiana yang berumur 78 tahun namun tetap masih terlihat kuat dan bugar dan seekor kucing lusuh yang di temukannya di tepi jalan dekat dengan pohon bambu. Subarjo dan Sunanti sangat menyayangi kucing yang ditemukannya. Sunanti memandikan dan merawat kucing yang di temukannya dalam lima tahun terakhir dan dari setengah tahun seusainya melaksanakan pernikahan.
Mereka pergi ketempat orang pintar untuk menanyakan mengapa kedua sepasang suami istri tersebut sampai sekarang tidak juga di karuniai seorang anak.Ternyata penyebab mereka tidak di karunia anak terungkap setelah mereka pergi ketempat orang pintar. Selain atas izin sang maha pencipta ada faktor lain yaitu faktor virus yang terjangkit dari kucing lusuh yang mereka temukan beberapa tahun yang lalu. Mereka tak menyalahkan kucing tersebut dan mereka percaya bahwa dibalik kehendak sang maha pencipta pasti ada kejutan yang tak terduaga. Bukannya mereka makin jijik dengan kucing lusuhnya walau pun sudah sering di bersihkan namun ada terdapat virus yang membahayakan sehingga mereka sulit untuk mendapatkan anak. Namun mereka semakin menyanyanginya dua kali lipat dari sebelumnya dan di sayanginya seperti anaknya sendiri walau pun mereka belum pernah di karunia seorang anak. 
Malam hari pun telah tiba, rembulan memancarkan cahayanya dan ribuan bintang berkelip-kelip nampak tersipu malu kepada dunia. Melihat bulan dan bintang di halaman teras rumahnya dan di temani seekor kucing miliknya, sepasang suami istri selalu berdoa di setiap solatnya dan dimana pun mereka berada. Mereka selalu memanjatkan doa dan dengan rintihan dengan memohon kepada sang pencipta agar di karuniai seorang anak. Ibu Nyi Sunantiana meneteskan air mata saat mendengarkan doa dan perbincangan mereka dari jauh.
Keesokan  harinya mentari mulai terbit dari sebelah timur dan panasnya memancar sampai ke ubun-ubun. Ibunya berpamitan kepada anak dan menantunya untuk mengantarkan hasil kerajinan rajutan dari tangannya. Ibu Nyi Sunantiana melewati hutan bambu yang seram jika dilewati sendirian dan tak lama kemudian ibu Nyi Sunantiana sampai kerumah warga yang ingin membeli pesanannya, harga sebuah kerajinannya di bandrol dengan harga yang cukup mahal. Tak sengaja ia melihat ada salah satu warga perempuan yang sedang hamil besar yang bernama Intanayu dan mau melahirkan. sebelum ia mendekati Intanayu itu rombongan anaknya yang berjumlah lima orang dan masih kecil-kecil, anak Intanayu hamil itu sesungguhnya tak memnginginkan ibunya melahirkan lagi karena kasihan melihat ibunya yang menderita karena kesulitan dalam proses melahirkan dan bisa-bisa nyawanya melayang karena perlu penanganan khusus untuk anaknya yang ke enam ini. Biaya yang tidak memadai, di usia kehamilannya menuju kesembilan bulan. Suaminya yang bernama kentana meminta bantuan kepada ibunya mengambil bambu milik keluarga Subarjo yang berada dekat dengan rumah keluarga Subarjo karena kekurangan biaya untuk melakukan persalinan melahirkan, hari mulai sore dan mentari mulai terbenam, suami dan ibunya tak kunjung pulang bahkan sampai saat ini.
Mendengar berita tersebut ibu Nyi Sunantiana tidak berpikir panjang lebar mengenai cerita masalalu mengenai hutan pohon bambu dan sumpahnya barang siapa yang mencoba mengambil milik hak orang lain tanpa seizin tuannya maka akan di sembunyikan oleh penunggunya yang berada di tengah hutan yang selalu bergoyang-goyang, kesana-kemari. Sehingga menghasilkan sebuah bunyi yang membuat orang tertarik dan ingin menebangi pohon bambu dan mencari sumber suara bambu jika terdengar bunyinya yang sangat merdu maka kualitas bambu tersebut akan semakin bagus, ia langsung mendatangi perempuan yang tak lama lagi akan segera melahirkan dan akan membantu proses kelahiran anaknya namun dengan catatan anaknya menjadi miliknya dan tinggal bersama ibu Nyi Sunantiana, tak mampu menahan kesakitan yang amat terasa perempuan yang beranakkan lima dan mempunyai calon anak yang masih di dalam kandungannya merintih kesakitan. Ibu Nyi Sunantiana segera mencari orang pintar untuk menyelamatkan perempuan dan calon cucuknya.
Satu jam kemudian proses persalinan berlangsung dan anak dari perempuan tersebut sudah lahir, rambut cucu ibu Nyi Sunantiana sangat lebat dan hidungnya mancung, berkulit putih, bibir yang tipis dan mata yang mengecil karena lipatan pada kelopak matanya. Setelah Ibu Nyi Sunantiana mengantarkan Intanayu ke rumahnya, Ibu Sunantiana mengasihkan sedikit uang kepada Intanayu itu setidaknya bisa membantu meringankan kebutuhan sehari-hari.
Ibu Nyi Sunantiana pulang menuju rumahnya dan mengetok-ngetok pintu rumahnya sambil tersenyum bahagia dan yang membukakan pintunya yaitu anak dari ibu Nyi Sunantiana yaitu Sunanti. Ibu Nyi Sunantiana menceritakan semuanya dan Sunanti memanggil suaminya untuk melihat dan mendengarkan berita bahagia ini. Keluarga Subarjo sangat bahagia karena kehadiran puteri yang terlahir kedunia ini untuknya dan begitu besar maha kuasa yang di berikan sang maha pencipta kepada kami.
Malam hari pun tiba dan burung gagak berterbangan dan sekali berbunyi sangat jelas ditelinga membuat suasana Bahagia menjadi ketakutan karena ada dua korban yang belum di temukan di hutan bambu dekat dengan rumahnya. Malam demi malam berlalu begitu saja, Subarjo dan keluarganya merasa tidak tenang dengan bunyi-bunyi yang setiap malamnya selalu hadir di saat mula terpejamnya mata dan merehatkan sejenak raga yang seharian membanting tulang demi keluarga dan puteri barunya.
Kokokan ayam mulai terdengar dan tidak lupa keluarganya Subarjo melaksanakan kewajibannya dua rakaat. Di pagi yang sedikit mendung namun tak ingin turunnya hujan dan membasahi hutan bambu fonetisnya. Akhirnya Subarjo mencoba mencari sebab mengapa ada burung gagak malam tadi berbunyi di hutan bambu miliknya. Usut punya usut Subarjo menemukan seorang ibu tua dan anaknya yang usianya sudah berkeluarga meminta tolong kepada Subarjo.
Dengan kaki yang berjengkot-jengkot di rangkul oleh Subarjo untuk menuju ke rumah Subarjo sambil mengobati luka dan membuangi belatung yang berdiam di kakinya dan sambil  melangkah secara terlompat-lompat karena kakinya yang sebelah kananya sudah mulai berbelatung karena sudah hampir satu minggu belatung yang menempel di kakinya akibat tertimpa pohon bambu milik Subarjo. Ibu dari Kentana tidak bisa menolongnya karena untuk merangkul anaknya memerlukan tenaga ekstra untuk keluar dari hutan tersebut tidaklah mudah lagi usianya yang sudah lewat dari setengah baya.
Sampailah di rumah Subarjo dan istrinya mengenali ibu tua dan pria yang di rangkul oleh suaminya karena sudah mendengar cerita dari ibunya bercerita tempo kemarin. Istri Subarjo mengambilkan air dan obat-obat luar untuk mengobatinya setelah selesai dibuangi belatungnya segera Subarjo mengajak mereka untuk kedapur dan menyantap hidangan yang sudah di sediakan oleh istri Subarjo, subarjo dan istrinya menemani mereka menghabiskan hidangannya dan ibu Nyi Sunantiana sedang berada di dalam kamar dengan puterinya untuk menidurkannya. Ibu Nyi Sunantianan sudah mengetahuinya dan setelah mereka selesai makan dan pindah duduk keruang tengah. Ibu Nyi Sunanti pun datang sambil membawa cucunya yang baru saja tertidur.
Kentana dan ibunya yang berusia lebih dari setengah baya terheran-heran melihat anak yang di gendong okeh Ibu Nyi Sunantiana. Mengapa kalian heran ungkap Ibu Nyi Sunantiana?, apakah wajahnya ada kemiripan dengan kalian?. Iya bu Nyi Sunantiana saya merasa kami ada kemiripan dan batin kami merasa menyatu dengannya. Ini adalah anak mu, isteri mu melahirkannya dalam keadaan kesusahan jadi aku menolongnya namun dengan satu syarat yaitu anakmu menjadi milikku, bolehkah aku menggendong anakku sekali saja ungkap Kentana dan permintaan dari sang neneknya yaitu untuk mencium kening cucuknya yang tak sempat ia lihat secara langsung setelah Intanayu melahirkannya untuk melihat duania.
Nasi sudah menjadi bubur apalah boleh buat lagi. Padahal anak ke enamnya ini adalah anak satu-satunya puteri dari buah cinta mereka. kelima anak sebelumnya adalah  laki-laki semua dan nakal-nakal dan susah untuk didik karena keegoannya tidak sempat mendidiknya karena ambisius kami yang merajalela. Sungguh kami menyesal melakukan semua ini dan kami meminta maaf atas perlakuan kami selama ini yang sering mengambil pohon bambu milik kalian.
Intanayu istri dari Kentana datang bersama kelima anak-anakanya setelah di beritahu oleh warga. Mendengar ceritanya keluarga Subarjo memaafkan perbuatannya tapi jangan menggambil hak milik orang lain tanpa seizinnya. Keluarga Subarjo memberikan permintaan sekali lagi kepada pria tersebut dan Subarjo mengatakan apakah boleh kelima anak laki-lakimu dan anak perempuan mu kita didik secara bersama? Ya, aku sangat setuju ungkap Kentana dan kedua keluarga tersenyum bahagia.
Sekian tahun kemudian anak-anak yang mereka didik bersama tanpa kekurangan kasih sayang dan materi dari kedua keluarganya. Kini mereka sudah tumbuh besar dan menjadi orang-orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Sungguh indah skenario sang Pencipta tiada lelahnya aku mengucapkan puji dan syukur sepanjang hari, siang dan malamku.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar