Kamis, 13 Juni 2019


DONGENG HUTAN FONETIS

            Dahulu kala hiduplah sepasang suami istri yang bernama Subarjo dan Sunanti. Mereka tinggal di tengah-tengah hutan yang jaraknya antara rumahnya dan rumah warga masih berjarak antara satu dengan yang lainnya karena masih banyak pepohonan bambu dan yang masih menjadi hutan. Sehingga sulit bagi para warga untuk mendekati kediaman mereka. Mereka menikah sudah tiga puluh tahun lamanya namun tidak satu pun di karunia seorang anak, mungkin belum rezekinya.
            Kedua suami istri bekerja sebagai pengusaha kerajinan yang terbuat dari bambu. Semua kebutuhan sehari-hari tercukupi karena mereka hanya tinggal bertiga yang ditemani oleh ibu dari Sunanti yang bernama ibu Nyi Sunantiana yang berumur 78 tahun namun tetap masih terlihat kuat dan bugar dan seekor kucing lusuh yang di temukannya di tepi jalan dekat dengan pohon bambu. Subarjo dan Sunanti sangat menyayangi kucing yang ditemukannya. Sunanti memandikan dan merawat kucing yang di temukannya dalam lima tahun terakhir dan dari setengah tahun seusainya melaksanakan pernikahan.
Mereka pergi ketempat orang pintar untuk menanyakan mengapa kedua sepasang suami istri tersebut sampai sekarang tidak juga di karuniai seorang anak.Ternyata penyebab mereka tidak di karunia anak terungkap setelah mereka pergi ketempat orang pintar. Selain atas izin sang maha pencipta ada faktor lain yaitu faktor virus yang terjangkit dari kucing lusuh yang mereka temukan beberapa tahun yang lalu. Mereka tak menyalahkan kucing tersebut dan mereka percaya bahwa dibalik kehendak sang maha pencipta pasti ada kejutan yang tak terduaga. Bukannya mereka makin jijik dengan kucing lusuhnya walau pun sudah sering di bersihkan namun ada terdapat virus yang membahayakan sehingga mereka sulit untuk mendapatkan anak. Namun mereka semakin menyanyanginya dua kali lipat dari sebelumnya dan di sayanginya seperti anaknya sendiri walau pun mereka belum pernah di karunia seorang anak. 
Malam hari pun telah tiba, rembulan memancarkan cahayanya dan ribuan bintang berkelip-kelip nampak tersipu malu kepada dunia. Melihat bulan dan bintang di halaman teras rumahnya dan di temani seekor kucing miliknya, sepasang suami istri selalu berdoa di setiap solatnya dan dimana pun mereka berada. Mereka selalu memanjatkan doa dan dengan rintihan dengan memohon kepada sang pencipta agar di karuniai seorang anak. Ibu Nyi Sunantiana meneteskan air mata saat mendengarkan doa dan perbincangan mereka dari jauh.
Keesokan  harinya mentari mulai terbit dari sebelah timur dan panasnya memancar sampai ke ubun-ubun. Ibunya berpamitan kepada anak dan menantunya untuk mengantarkan hasil kerajinan rajutan dari tangannya. Ibu Nyi Sunantiana melewati hutan bambu yang seram jika dilewati sendirian dan tak lama kemudian ibu Nyi Sunantiana sampai kerumah warga yang ingin membeli pesanannya, harga sebuah kerajinannya di bandrol dengan harga yang cukup mahal. Tak sengaja ia melihat ada salah satu warga perempuan yang sedang hamil besar yang bernama Intanayu dan mau melahirkan. sebelum ia mendekati Intanayu itu rombongan anaknya yang berjumlah lima orang dan masih kecil-kecil, anak Intanayu hamil itu sesungguhnya tak memnginginkan ibunya melahirkan lagi karena kasihan melihat ibunya yang menderita karena kesulitan dalam proses melahirkan dan bisa-bisa nyawanya melayang karena perlu penanganan khusus untuk anaknya yang ke enam ini. Biaya yang tidak memadai, di usia kehamilannya menuju kesembilan bulan. Suaminya yang bernama kentana meminta bantuan kepada ibunya mengambil bambu milik keluarga Subarjo yang berada dekat dengan rumah keluarga Subarjo karena kekurangan biaya untuk melakukan persalinan melahirkan, hari mulai sore dan mentari mulai terbenam, suami dan ibunya tak kunjung pulang bahkan sampai saat ini.
Mendengar berita tersebut ibu Nyi Sunantiana tidak berpikir panjang lebar mengenai cerita masalalu mengenai hutan pohon bambu dan sumpahnya barang siapa yang mencoba mengambil milik hak orang lain tanpa seizin tuannya maka akan di sembunyikan oleh penunggunya yang berada di tengah hutan yang selalu bergoyang-goyang, kesana-kemari. Sehingga menghasilkan sebuah bunyi yang membuat orang tertarik dan ingin menebangi pohon bambu dan mencari sumber suara bambu jika terdengar bunyinya yang sangat merdu maka kualitas bambu tersebut akan semakin bagus, ia langsung mendatangi perempuan yang tak lama lagi akan segera melahirkan dan akan membantu proses kelahiran anaknya namun dengan catatan anaknya menjadi miliknya dan tinggal bersama ibu Nyi Sunantiana, tak mampu menahan kesakitan yang amat terasa perempuan yang beranakkan lima dan mempunyai calon anak yang masih di dalam kandungannya merintih kesakitan. Ibu Nyi Sunantiana segera mencari orang pintar untuk menyelamatkan perempuan dan calon cucuknya.
Satu jam kemudian proses persalinan berlangsung dan anak dari perempuan tersebut sudah lahir, rambut cucu ibu Nyi Sunantiana sangat lebat dan hidungnya mancung, berkulit putih, bibir yang tipis dan mata yang mengecil karena lipatan pada kelopak matanya. Setelah Ibu Nyi Sunantiana mengantarkan Intanayu ke rumahnya, Ibu Sunantiana mengasihkan sedikit uang kepada Intanayu itu setidaknya bisa membantu meringankan kebutuhan sehari-hari.
Ibu Nyi Sunantiana pulang menuju rumahnya dan mengetok-ngetok pintu rumahnya sambil tersenyum bahagia dan yang membukakan pintunya yaitu anak dari ibu Nyi Sunantiana yaitu Sunanti. Ibu Nyi Sunantiana menceritakan semuanya dan Sunanti memanggil suaminya untuk melihat dan mendengarkan berita bahagia ini. Keluarga Subarjo sangat bahagia karena kehadiran puteri yang terlahir kedunia ini untuknya dan begitu besar maha kuasa yang di berikan sang maha pencipta kepada kami.
Malam hari pun tiba dan burung gagak berterbangan dan sekali berbunyi sangat jelas ditelinga membuat suasana Bahagia menjadi ketakutan karena ada dua korban yang belum di temukan di hutan bambu dekat dengan rumahnya. Malam demi malam berlalu begitu saja, Subarjo dan keluarganya merasa tidak tenang dengan bunyi-bunyi yang setiap malamnya selalu hadir di saat mula terpejamnya mata dan merehatkan sejenak raga yang seharian membanting tulang demi keluarga dan puteri barunya.
Kokokan ayam mulai terdengar dan tidak lupa keluarganya Subarjo melaksanakan kewajibannya dua rakaat. Di pagi yang sedikit mendung namun tak ingin turunnya hujan dan membasahi hutan bambu fonetisnya. Akhirnya Subarjo mencoba mencari sebab mengapa ada burung gagak malam tadi berbunyi di hutan bambu miliknya. Usut punya usut Subarjo menemukan seorang ibu tua dan anaknya yang usianya sudah berkeluarga meminta tolong kepada Subarjo.
Dengan kaki yang berjengkot-jengkot di rangkul oleh Subarjo untuk menuju ke rumah Subarjo sambil mengobati luka dan membuangi belatung yang berdiam di kakinya dan sambil  melangkah secara terlompat-lompat karena kakinya yang sebelah kananya sudah mulai berbelatung karena sudah hampir satu minggu belatung yang menempel di kakinya akibat tertimpa pohon bambu milik Subarjo. Ibu dari Kentana tidak bisa menolongnya karena untuk merangkul anaknya memerlukan tenaga ekstra untuk keluar dari hutan tersebut tidaklah mudah lagi usianya yang sudah lewat dari setengah baya.
Sampailah di rumah Subarjo dan istrinya mengenali ibu tua dan pria yang di rangkul oleh suaminya karena sudah mendengar cerita dari ibunya bercerita tempo kemarin. Istri Subarjo mengambilkan air dan obat-obat luar untuk mengobatinya setelah selesai dibuangi belatungnya segera Subarjo mengajak mereka untuk kedapur dan menyantap hidangan yang sudah di sediakan oleh istri Subarjo, subarjo dan istrinya menemani mereka menghabiskan hidangannya dan ibu Nyi Sunantiana sedang berada di dalam kamar dengan puterinya untuk menidurkannya. Ibu Nyi Sunantianan sudah mengetahuinya dan setelah mereka selesai makan dan pindah duduk keruang tengah. Ibu Nyi Sunanti pun datang sambil membawa cucunya yang baru saja tertidur.
Kentana dan ibunya yang berusia lebih dari setengah baya terheran-heran melihat anak yang di gendong okeh Ibu Nyi Sunantiana. Mengapa kalian heran ungkap Ibu Nyi Sunantiana?, apakah wajahnya ada kemiripan dengan kalian?. Iya bu Nyi Sunantiana saya merasa kami ada kemiripan dan batin kami merasa menyatu dengannya. Ini adalah anak mu, isteri mu melahirkannya dalam keadaan kesusahan jadi aku menolongnya namun dengan satu syarat yaitu anakmu menjadi milikku, bolehkah aku menggendong anakku sekali saja ungkap Kentana dan permintaan dari sang neneknya yaitu untuk mencium kening cucuknya yang tak sempat ia lihat secara langsung setelah Intanayu melahirkannya untuk melihat duania.
Nasi sudah menjadi bubur apalah boleh buat lagi. Padahal anak ke enamnya ini adalah anak satu-satunya puteri dari buah cinta mereka. kelima anak sebelumnya adalah  laki-laki semua dan nakal-nakal dan susah untuk didik karena keegoannya tidak sempat mendidiknya karena ambisius kami yang merajalela. Sungguh kami menyesal melakukan semua ini dan kami meminta maaf atas perlakuan kami selama ini yang sering mengambil pohon bambu milik kalian.
Intanayu istri dari Kentana datang bersama kelima anak-anakanya setelah di beritahu oleh warga. Mendengar ceritanya keluarga Subarjo memaafkan perbuatannya tapi jangan menggambil hak milik orang lain tanpa seizinnya. Keluarga Subarjo memberikan permintaan sekali lagi kepada pria tersebut dan Subarjo mengatakan apakah boleh kelima anak laki-lakimu dan anak perempuan mu kita didik secara bersama? Ya, aku sangat setuju ungkap Kentana dan kedua keluarga tersenyum bahagia.
Sekian tahun kemudian anak-anak yang mereka didik bersama tanpa kekurangan kasih sayang dan materi dari kedua keluarganya. Kini mereka sudah tumbuh besar dan menjadi orang-orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Sungguh indah skenario sang Pencipta tiada lelahnya aku mengucapkan puji dan syukur sepanjang hari, siang dan malamku.





Mitos Bukit Tengkorak

Alkisah, pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda yang bernama Sugeng Aji Kertaputi, ia tinggal di sebuah desa terpencil yang jauh dari kota. Sugeng terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara, adiknya bernama Zakarya Wicaksana dan anak dari Bapak Anto Saji dan Ibu Sunanti.
Kehidupan keluarga Sugeng sangat sederhana, ia sekarang bersekolah di SMA Swasta dan adiknya sedang duduk di bangku SMP Negeri yang berada dekat dengan tempat kediamannya. Orang tuanya membuka warung sembako untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dijalaninya selama sisa umur hidup di dunia dengan cara memutarkan modalnya. Pak Anto menjual seluruh kebutuhan warga dan harga yang dipatokkan tidaklah jauh berbeda dengan harga yang ada di Kota. Berkat kebaikan hati istrinya banyak warga petani sahang yang berhutang padanya. Sesekali pak Anto menegur istrinya bahkan memarahi istrinya didepan warga agar warga tidak berhutang lagi, hati Sunanti merasa teriris karena di perlakukan begitu oleh suaminya. Namun dengan cara seperti itu tidaklah mempan untuk warga petani sahang.

Sepulangnya sekolah Sugeng dan Zakarya membantu bapak dan ibunya untuk berbelanja kebutuhan warung yang sudah mulai menipis, mereka melakukannya setiap satu kali dalam sebulan mereka ikhlas melakukannya walau jarak tempuhnya lumayan jauh jika di kendarai menggunakan sepeda. Sugeng dan adiknya bersiap-siap menaikkan keranjang ringan yang terbuat dari jejaring, mereka pergi ke kota dengan mengendarai dua sepeda peninggalan almarhum kakek dan neneknya yang setahun yang lalu meninggal dunia, sepeda warisan yang di dapatkan dari almarhum kakek dan neneknya masih sangat kokoh untuk dikendarai dan bisa sampai ke tempat tujuan. Jarak tempuhnya kurang lebih 3 jam untuk sampai ke kota, kebetulan besok hari libur jadi tidak apa kalau bermalam di kota kata Zakarya. Tak lama kemudian merka pun sampai ke kota. Sugeng langsung mengajak adiknya untuk bergegas menyandarkan sepedanya ke tembok dan langsung mengunjungi toko-toko yang biasa mereka tuju, barang yang di beli mereka sangat banyak sampai memenuhi kedua keranjang sepedanya dan biasanya hanya sedikit saja tidak sampai membumbung tinggi dan sangat berat.

Zakarya mengajak kakaknya untuk bermalam di Kota, namun Sugeng menolak ajakan adiknya dengan suara terengah-engah sambil menaikkan barang ke keranjangnya. Awalnya Zakarya merasa kecewa karena ia tidak pernah bermalam di kota. Setelah mendengar penjelasan dari kakaknya Zakarya bisa menerima alasannya dan menjadi lebih semangat lagi.

Mereka meninggalkan kota, setengah perjalanan matahari mulai tenggelam di sebelah barat, jadi mau tidak mau mereka harus membawa semuanya sampai ke rumah untuk menyenangkan hati orang tuanya dan agar para pembeli tidak kecewa karena barang yang akan di belinya tersedia di dalam warung. Sekayuh demi kayuh mereka jalani dengan laju agar cepat sampai ke rumahnya dan datang tidak terlalu malam. Di perjalanan rantai sepeda Zakarya putus dan putusan rantainya tidak jauh dari mereka berhenti. Zakarya menitipkan barang dan sepedanya kepada kakaknya dan ia mencoba menyusuri setapak demi setapak secara perlahan agar tak terlewatkan matanya untuk melihat ke bawah di balik dedaunan yang menutupi jalan kecil itu.
Mata zakarya masih awas untuk melihat disekitarnya, dibantu dengan sinar purnama. Sambil Zakarya mencari potongan rantai sepeda miliknya. Sugeng melihat pancaran sinar kilat yang menuju ke sebuah bukit, ia mengabaikannya dan tidak menceritakan hal itu kepada adiknya.Tak lama Zakarya langsung menemukan potongan rantai sepedanya dan langsung bergegas untuk mendatangi kakaknya di tempat.

Sugeng mencari sebuah potongan kayu keras yang berukuran lengannya dan mencari reranting kecil untuk menyatukan rantai sepeda milik adiknya.  Kayu dan ranting sudah ditemukan olehnya, ia langsung memperbaiki rantai sepeda dan mereka langsung meninggalkan tempat tersebut.Setelah beberapa jam kemudian, sampailah di depan rumah dan orang tuanya masih tertidur pulas. Sugeng dan Zakarya menurunkan barang muatannya dengan pelan agar orang tuanya tidak terbangun, dan tak sengaja adiknya menjatuhkan barang yang ada di dalam keranjangnya, orang tuanya terkejut dan langsung pergi keluar untuk melihat dan mendatangi sumber suara dan ternyata didepan rumahnya ada anaknya yang sedang membongkar muatan yang mereka beli dari kota dan mereka pun membantu anaknya agar cepat selesai dan langsung bisa beristirahat.

Sesekali anak-anak dari bapak Anto Saji dan ibu sunanti ini menggantikan perannya untuk menjaga warung miliknya seharian secara bergantian dan membiarkan orang tuanya beristirahat. Karena tidaklah mudah dan sangat menguras tenaga diusia mereka yang sudah melewati setengah abad dan akhir-akhir ini orang tunya sakit-sakitan. Sugeng merasa iba dengan kesehatan orang tuanya yang sudah tua namun masih saja bekerja tanpa lelah demi menyekolahkan anaknya dan memenuhi kebutuhan keluarganya.

Hari demi hari berlalu begitu saja dan akhirnya setelah Sugeng Aji Kertaputi lulus sekolah dan dimalam harinya ia bermimpi bertemu dengan gadis berparas cantik jelita yang bertubuh putih dan menggunakan gaun bertutul yang turun ke arah sungai tersela. Di dalam mimpinya ia mendatangi gadis tersebut dan mereka bertemu dan saling tatap sehingga saling jatuh hati satu sama lainnya. Mereka menjalin kasih dan merencanakan pernikahan di dasar daratan yang dekat dengan tepian sungai tersela. Mereka pun menikah tanpa adanya wali satu sama lain, Sugeng menikahi gadis yang menggunakan gaun bertutul karena cintanya yang tulus namun ia sedih karena tidak di hadiri oleh kedua keluarga mereka. Gadis berparas cantik jelita yang bernama Putri Hanima. Sugeng tak pernah menanyakan asal usul dari gadis yang ia nikahi namun ia merasa penasaran dengan tingkah laku istrinya yang akhir-akhir ini sering menuju ke arah bukit yang berada di seberang sungai tersela. Tanpa Sugeng menanyakan langsung kepada istrinya, Putri Hanima pun langsung menceritakan asal usul kehidupannya dan dari mana ia berasal. Sugeng terkejut setelah mendengarkan cerita dari isterinya. Berkat kecintaannya kepada sang istri iamemutuskan untuk tinggal di bukit bersama istrinya.
                                                    
Alasan isterinya sering  pergi ke bukit karena keluarganya dahulu tinggal di bukit Mahakala. Ayahnya di percayai warga sebagai ahli pengobatan dengan membacakan doa-doa kepada warga yang ingin disembuhkan dari penyakitnya dan jika keluarganya meninggalkan bukit tersebut banyak warga disekitarnya yang merasa kecewa karena tidak ada lagi orang yang bisa diandalkan untuk membantu menyembuhkan penyakit warga di sekitar. Di saat pernikahan Putri Hanima bukannya keluarganya tidak ingin menghadiri pernikahan putrinya namun di saat perjalanan menuju kepernikahan putrinya di malam hari karena kemalaman di perjalan adik dari Putri Hanima menyebutkan hal-hal yang tidak boleh di katakan pada saat ingin keluar dari bukit mahakala, adiknya bukannya tidak mengetahui hal itu namun ia sengaja mempermainkan kata-kata itu dan begitulah terus menerus perkataan yang di keluarkan dari mulut adiknya Putri Hanima.

Angin berhembus kencang dan membuat pepohonan bernari-nari para ilalang yang bergoyang dari arah barat dan terdengar suara ganas dan ternyata yang keluar dari ilalang adalah seekor Harimau yang ganas yang mengincar nyawa ayahnya selama ini. Lantas Ayah Putri Hanima mencoba melindungi keluarganya dari serangan harimau tetapi tetap saja tak bisa tertandingi dan akhirnya sekeluarga meninggal di bukit Mahakala tanpa diketahui warga disekitar dan warga pun satu persatu meninggal dunia karena tidak ada yang bisa mengobati penyakitnya. Merasa hati bimbang dan rindu kepada sang ayah dan keluarga di bukit Mahakala, Putri mendatangi keluarganya sendiri tanpa meminta suaminya untuk menemaninya dan sesampainya Putri Hanima di Bukit Mahakala terungkaplah bahwa tiada satu pun keluarganya yang tersisa dan banyak warganya yang sudah menjadi tengkorak.

Hati Putri Hanima merasa teriris dan pilu sebab tiada satu pun keluarganya yang tersisa dan warga yang sudah menjadi tengkorak bersama keluarganya. Putri Hanima dimimpi oleh Ayahnya dan bukannya ayah tidak ingin datang kepernikahan namun di perjalanan kami diserang oleh seekor macan yang sakit hati kepada adikmu karena oleh perkataan yang keluar dari mulut adikmu dan akhirnya kami semua mati. Pesan ayah kepada mu dan keturunan mu kelak hati-hati di setiap ujaran yang keluar dari mulut dan dilihat lagi situasi dan suasana di sekitar. Karena gara-gara mulut nyawa melayang. Oleh sebab itu nama bukit Mahakala berubah menjadi bukit tengkorak karena banyak warga yang mati di sana tanpa diketahui oleh banyak orang.

Sugeng pun terbangun dari mimpinya dan memutuskan untuk mengajak keluarganya untuk pergi merantau mengubah nasib ke seberang sungai tersela yaitu di kampung Mahakala. Jarak rumah menuju sungai tersela dua hari satu malam, mau tidak mau Sugeng dan keluarganya beristirahat ditempat persinggahan samping  jalan untuk merehatkan tubuhnya sejenak di kursi yang terbuat dari bambu yang sudah agak reot, sampai mentari terbit dari arah timur. Di gubuk tua tersebut tidak ada penghuninya namun ada hawa kehidupan di dalam rumah gubuk tua itu.

Mentari pun terbit dari arah timur Sugeng dan keluarga segera melanjutkan perjalanannya sebelum itu terpintas pikiran di benaknya ia memikirkan sesuatu untuk meminta bantuan kepada adik dan orang tuanya untuk melepakan bambu-bambu yang masih berbentuk menjadi kursi dan akhirnya dilepaskannya sehingga kursi tersebut menjadi berlepasan dan mereka berbodong-bondong memikul bambu-bambu yang ia lepaskan dari bentuk kursi. Tidak lama kemudian Sugeng dan keluarganya sampai di tepi Sungai tersela, menarik nafas dan menghembuskan nafas sejenak Sugeng langsung merakit kendaraannya yang ia gunakan untuk menyeberangi sungai sampai ke kampung Mahakala. Dibawah Sungai Tersela terdapat bebatuan dan airnya kadang surut dan kadang pasang dan tak tau kapan waktunya, seolah-olah sungai Tersela ada penunggunya.

Sugeng dan keluarga mencoba menyebrangi sungai dengan menaiki kendaraan apung yang dibuatnya dari beberapa bambu yang diikat secara berjajaran. Sugeng baru saja mengijakkan kaki kanannya lalu seketika ada seorang laki-laki separuh baya yang menegurnya untuk tidak menaiki kendaraannya untuk menyebrangi sungai tersela. Sugeng tidak menghiraukan Laki-laki separuh baya tersebut dan akhirnya Sugeng menaiki kendaraannya di saat sungai tersela itu pasang, ia pikir dengan demikian ia akan cepat sampai ke seberang sana yaitu di kampung Mahalaka. Air sungai tersela sangat deras sekali dan tiba-tiba kendaraannya terbalik. Sugeng dan keluarganya tenggelam dan hanyut di dekat bukit Mahakala di kampung Mahakala. Jarak bukit dan kampung Mahakala tidak begutu jauh dan ia teringat oleh mimpinya bahwa ia pernah menikahi seorang gadis cantik jelita yang bernama Putri Hanima. Tergerak hati untuk mengajak keluarganya untuk tinggal di atas bukit mahakala.

Tidak lama kemudian meraka pun sampai di bukit Mahakala dan mereka membuat pondok sambil menghidupkan api kecil untuk menghindari dari binatang buas untuk persiapan di malam harinya dan menaburi garam di sekitar pondok yang hampir jadi. Seusainya pondok mereka jadi Zakarya mengeluarkan dan menyusuni sembako yang masih ada di dalam tas mereka yang basah dan yang tadinya terikat kuat dari badan mereka masing-masing pada saat hanyut tadi. Tak lama kemudian ada warga yang berkunjung ke bukit Mahakala untuk mengunjungi keluarganya yang sudah puluhan tahun tidak bertemu, warga tersebut berbondong-bondong menaki bukit dan merehatkan tubuhnya sejenak sambil menghilangkan dahaga di warung Sugeng dan keluarga sambil bercerita dengan warga dan tak panjang lebar, warga pun melanjutkan perjalanannya yang kurang lebih 15 menit untuk sampai ke tempat keluarganya.

Akhirnya mereka sampai ketempat tujuan dan dilihatnya hanyanyalah tengkorak-tengkorak yang bergelempangan di tanah. Kemudian warga tersebut syok dan kembali ke pondok tadi yang mereka singgahi dan menceritakan peristiwa tersebut lalu kemudian Sugeng mendatangi tempat tersebut dan menceritakan mimpinya dan mimpinya itu sama persis dengan apa yang ia lihat sekarang ini namun ia tak pernah melihat dan dimimpi oleh Putri Hanima yang dulunya sering hadir di bunga tidurnya dan warga percaya dengan cerita Sugeng lalu kemudian warga tersebut tinggalah di bukit Mahakala di kampung Mahakala dan yang sekarang diubah menjadi bukit tengkorak dan setiap orang yang tinggal dan ingin berkunjung ke bukit ini harus menjaga ujarnya dan sekarang di bukit tengkorak ini di buatkanlah sebuah kelenteng karena banyak penduduk kampung Mahakala yang menganut kepercayaan tradisional Tionghoa.